Rabu, 10 Februari 2016

strukturalisme dan pasca strukturalisme dalam kacamata semiotika dan sosial budaya

Stukturalisme Dan Pasca Strukturalisme  Dalam Kacamata  Semiotika dan dinamika Sosial Budaya
Oleh: Muh. Zulfadli
Sebelum  melangkah lebih jauh membahas tentang strukturalisme, terlebih dahulu pembaca harus pahami seperti apa strukturalisme itu? Didalam buku  yang berjudul Semiotika dan dinamika social budaya  ditulis oleh Benny H. Hoed, dikatakan bahwa strukturalisme berasal dari kata  struktur yaitu sebuah bangunan abstrak yang terdiri atas sejumlah komponen yang mempunyai relasi  satu sama lain dalam susunan yang tertentu. Struktur melihat kebudayaaan sebagai suatu tekstur dan abstrak yaitu berbagai realitas sebenarnya dapat dilihat dari strukturnya. Teori struktur bersifat idealistik sangat mendominasi tidak hanya dalam ilmu pengetahuan sosial dan budaya tetapi juga mencakup ilmu pengetahuan alam.   Ada tiga sifat utama struktur  pertama merupakan suatu totalitas maksutnya ia terbentuk dari sejumlah struktur yang lebih kecil yang berkaitan satu sama lain dengan seluruhnya membentuk suatu totalitas dalam struktur yang lebih besar. kedua dapat bertransformasi, Struktur merupakan sesuatu yang dapat bertransformasi karena konsep struktur bukan hanya terstruktur tetapi menstruktur. Jadi berkembangnya sebuah struktur diakibatkan oleh pengaruh dalam dan luarnya. Hal ini depengaruhi karna adanya relasi atau jaringan yang saling berkaitan satu sama lain untuk membuntuk system yang lebih besar. ketiga  dapat mengatur dirinya sendiri ketika terjadinya perubahan pada bagian-bagian susunan-nya.
Berkenan dengan tiga prinsip dasar strukturalisme diatas pada pagagraf ini mencoba untuk menguraikan prinsip dasar strukturalisme dan kaidah kaidah analisis structural. Adapun prinsip dasar strukturalisme yang dimaksutkan  pertama, struktur dan system selalu hadir bersama. Kedua, struktur dan system bersifat abstrak dalam kognisi manusia. Ketiga, struktur dan system merupakan satuan yang tertutup dan memenuhi dirinya sendiri. Sedangkan kaidah analisis struktur-nya ialah pertama, kaidah imanensi. Kedua, kaidah pertinensi. Ketiga, kaidah komutasi. keempat, kaidah kompabilitas. Kelima, kaidah intergrasi. keenam, kaidah diakronis. ketujuh, kaidah fungsi. Tujuh kaidah diatas merupakan sebuah ciri dari analisis structural.
strukturalisme lahir dari pemikiran de Saussure melalui kuliahnya di universitas swiss. Ditahun 60-an kata struktur dalam tiga karya de Saussure tidak terbilang popular dimasa itu strukturalisme menjadi semacam wordview. bahwa disetiap realitas yang ditemui manusia ada struktur dan system. Tahun 1967-1968 merupakan masa perluasan penyebaaran-nya di eropa melalui sebuah buku yang diterbitkan yaitu le strukturalisme  karangan Jean Peget yang merupakan guru besar pisikologi di Universitas Jenewa (1929-1954) yang merupakan sebuah lembaga tempat bapak strukturalisme Ferdinand de Saussure pendahulu peget. Selain itu de Saussure pernah mengajar sebagai guru besar liguistik. Di eropa strukturalisme tidak hanya berkembang pada bidang ilmu liguistik tetapi mencakup bidang-bidang ilmu lain seperti sastra, sejarah, arsitektur, pisikologi, biologi, fisika, botani, ekonomi dan manajemen. Sebenarnya strukturalisme tidak hanya sebagai sebuah metode, tetapi juga sebuah gerakan intelektual yang datang untuk mengambil alas eksistensialisme di Perancis tahun 1960-an.
Strukturalisme muncul sekitar paruh kedua abad ke-20 dan berkembang menjadi salah satu pendekatan yang paling populer di bidang akademik berkaitan dengan analisis bahasa, budaya, dan masyarakat.  Aktivitas Ferdinand de Saussure yang menggeluti bidang  linguistik inilah yang dianggap sebagai titik awal dari strukturalisme. Istilah Strukturalisme itu sendiri muncul dalam karya-karya antropolog Perancis Claude Lévi-Strauss, yang menyebabkan gerakan strukturalis di Perancis. Hal ini pula yang mendorong para pemikir seperti Louis Althusser, psikoanalis Jacques Lacan, serta Nicos Poulantzas untuk mengembangkannya sebagai Marxisme struktural. Sebagian besar anggota aliran strukturalisme ini tidak menggambarkan diri sebagai bagian dari setiap gerakan tersebut. Strukturalisme berkaitan erat dengan semiotika. Tidak lama kemudian, aliran baru post strukturalisme muncul dan mencoba untuk membedakan diri dari aliran struktural. Dengan cara memunculkan hal-hal yang kontradiktiv (dekonstruksi), para pengikut aliran ini berusaha untuk menjauhkan diri dari pikiran stukturalis. Beberapa kaum intelektual seperti Julia Kristeva, mengambil strukturalisme (dan formalisme Rusia) untuk titik awal kiprahnya yang kemudian menjadikannya menonjol sebagai salah satu tokoh post strukturalis. Strukturalisme memiliki berbagai tingkat pengaruh dalam ilmu sosial, dan pengaruh sangat kuat dapat terlihat di bidang sosiologi.
Dalam perkembangan dari pemikiranya maka de saussura mencoba untuk memperkenalkan empat konsep yang masing-masing terdiri dari dua kelompok yang saling bertentangan yaitu pertama, langue vs. parole merupakan sebuah konsep yang membentuk sebuah struktur budaya bahasa yang kemudian menjadi acuan bagi teori strukturalisme dalam memahami gejala social budaya dan alam. Kedua, sintakmatik vs. paragmatik yaitu sebuah konsep menyangkut sifat hubungan antar komponen dalam struktur dan sistem  ketiga, sinkroni vs. diakroni, memeandang suatu gejala kebahasaan pada lapisan waktu tertentu dengan melihat suatu lapisan waktu kelapisan waktu lainya. Keempat, significant vs. signifie. Bahwa bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan system dan dapat disususn dalam sejumlah struktur setiap tanda dalam system memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman dalam selembar kertas.
            Post-strukturalisme adalah sebutan kepada sekian banyak kaum intelektual Perancis yang  terkenal sekitar tahun 1960-an sampai dengan 1970-an, yang menkritisi analisa struturalis yang mendominasi Perancis pada saat itu. Tokoh - tokohnya antara lain Jacques DerridaMichel FoucaultGilles Deleuze, Judith Butler dan Julia Kristeva. Sebagaimana istilahnya post-sturkturalisme adalah bentuk perlawanan pada Strukturalisme. Beberapa diantaranya berpendapat bahwa istilah "post-strukturalisme" muncul diAnglo-Amerika sebagai alat pengelompokan bersama filsuf yang menolak metode dan asumsi - asumsi filsafat analitis. Meskipun ide - ide tersebut umumnya hanya berhubungan dengan metafisik (misalnya, metanarasi kemajuan sejarah, seperti orang - orang dari materialisme dialektik), banyak komentator mengkritik gerakan ini sebagai relativis dan nihilis.
                Gerakan pasca-strukturalis sulit untuk diringkas, tetapi mungkin secara luas dipahami sebagai respon tubuh berbeda untuk Strukturalisme. Sebuah gerakan intelektual yang dikembangkan di Eropa dari awal hingga pertengahan abad ke-20, Strukturalisme berpendapat bahwa budaya manusia dapat dipahami dengan cara struktur - model pada bahasa (linguistik struktural) yang berbeda baik dari organisasi realitas dan organisasi ide dan imajinasi. Sifat yang tepat dari revisi atau kritik strukturalisme berbeda dengan masing - masing penulis post-strukturalis, meskipun tema umum termasuk penolakan terhadap swasembada dari struktur yang strukturalisme berpendapat dan interogasi dari oposisi biner yang merupakan struktur-struktur.
             Dua tokoh kunci dalam gerakan post-strukturalis awal Jacques Derrida dan Roland Barthes. Meskipun awalnya Barthes strukturalis, selama tahun 1960-an ia semakin menyukai pandangan post-strukturalis. Pada tahun 1967, Barthes menerbitkan "The Death of Author" di mana ia mengumumkan acara metaforis: "kematian" dari penulis sebagai sumber otentik makna untuk teks yang diberikan. Barthes berpendapat bahwa setiap teks sastra memiliki banyak arti, dan bahwa penulis bukanlah sumber utama isi semantik atas karya tersebut. The "Kematian Pengarang," yang dipertahankan Barthes, "Kelahiran Pembaca," adalah sebagai sumber proliferasi makna dari teks.
struktrualisme melihat struktur sebagi sesuatu yang order dan stabil serta memiliki fungsi membentuk fenomena sosial. Pada perkembangan selanjutnya pemikiran ini dikritik karena adanya fakta-fakta yang melihat bahwa struktur merupakan sesuatu yang dinamis dan tidak stabil. Salah satu tokoh yang muncul mengeritik hal tersebut adalah Michel Foucault. Dalam hal ini, ia melihat bahwa dalam setiap layer atau konteks ruang dan waktu ada kekuasaan yang mendominasi pengetahuan dan berdampak kepada realitas sosial empirik. Sehingga diperlukan upaya mengungkap kebenaran tentang situasi yang sedang berkembang itu, baik dimasa lalu mapun di masa kini, itulah yang menurut Foucalut disebut dengan ‘diskursus’. Untuk membahas mengenai struktur tersebut, Ia membaginya menjadi dua level; arkeologi pengenatahuan dan geanologi kekuasaan.
Dalam arkeologi pengetahuan, Foucault memberikan metode dalam memahami pengetahuan yaitu dengan melalui analisis diskursus (discourse analyses). . Lewat arkeologi ilmu pengetahuan inilah, kita akan melihat diskursus secara objektif dan tidak salah dalam memahami makna dari diskursus tersebut.
Sedangkan dalam genaologi kekuasaan, Foucault melihat bahwa kuasa (power) sesungguhnya memiliki lintasan sejarah intelektual yang pada giliranya menentukan diskursus yang ada. Dengan demikian dapatlah diketahui kuasa yang dominan yang dapat menentukan diskurus di setiap layer atau konteks ruang dan waktu. Genealogi kekuasaan ini membuktikan bahwa stuktur pengetahuan yang dipahami oleh masyarakat tidaklah statis dan juga stabil, namun struktur sesungguhnya dinamis dan sangat tidak stabil.
Di sisi lain, pemikir post-stukturalis lainya adalah Derrida. Pemikir sosial asa Perancis itu muncul dengan konsep intinya ‘dekonstruksi’. Dalam hal ini Derrida berkontribusi dalam memberikan metode dekonsrtuksi dalam melihat imagi, simbol, ataupun tanda dan juga institusi sosial yang ada. Sebagaimana Foucault, Derrida juga berpendapat bahwa  stuktur merupakan hal yang tidak stabil dan teratur. Ia pun menilik perkembangan dunia teater yang cukup dinamis di Perancis, menurutnya hal ini disebabkan karena adanya kebebasan sutradara dan penulis skrip untuk berkarya di dunia tersebut. Begitupun di dalam realitas sosial yang ada, sesungguhnya setiap individu merupakan ‘penulis yang bebas’ bebas berkreasi dan berinovasi untuk membentuk dunia sosialnya. Dengan demikian, maka masa depan haruslah ditemukan dan itu merupakan proses yang kontinyu untuk menjadi, bukan sebagai refleksi statis atas masa lalu yang memperlihatkan kebekuan dan kekolotan.
Berdasarkan namanya, post-strukturalisme dibangun diatas gagasan strukturalisme, namun bergerak keluar dan menciptakan mode berpikirnya sendiri. Strukturalisme dipengaruhi oleh ilmu bahasa, bahwa bahasa sebagai simbol dapat menciptakan makna yang berlaku secara universal, sedangkan pos-strukturalisme tidak melihat adanya kestabilan dan universalitas makna dalam bahasa. Bahkan Derrida berupaya untuk melakukan “dekonstruksi logosentrisme”. Dia ingin melihat masyarakat terbebas dari gagasan semua penguasa intelektual yang telah menciptakan pemikiran dominan. Sedangkan Foucoult mengemukakan pandangannya tentang pengetahuan/kekuasaan. Pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Bahwa orang yang memiliki pengetahuan maka dia yang akan berkuasa.

Jadi intinya bahwa Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Menyerap berbagai aspek linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Sigkatnya, post-strukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasanan biner (hitam-putih, baik-buruk). Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selelu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata, kalimat atau teks tertentuyang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antar teks. Sama seperti pendahulunya, bersifat antihumanis dalam upayanya meminggirkan subjek manusia yang terpadu dan koheren sebagai asal muasal makna stabil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar